Dalam dunia bisnis yang kompetitif, risiko kegagalan selalu mengintai, bahkan untuk perusahaan besar yang pernah mendominasi pasar global. Meskipun memiliki sejarah panjang dan sumber daya yang kuat, banyak perusahaan yang akhirnya harus menutup operasinya karena gagal beradaptasi dengan perubahan pasar, teknologi, atau dinamika konsumen.
Memahami kegagalan bisnis bukan hanya tentang menghindari kesalahan yang sama, tetapi juga tentang menemukan cara untuk bangkit kembali. Belajar dari kegagalan dapat memberikan wawasan berharga tentang pentingnya inovasi, strategi yang fleksibel, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan.
Artikel ini akan membahas lima perusahaan besar yang mengalami kegagalan dalam bisnis mereka, serta bagaimana Nokia, yang juga pernah mengalami keterpurukan, berhasil bangkit kembali dan menjadi relevan di pasar global. Perjalanan kebangkitan Nokia menawarkan pelajaran penting bagi perusahaan lain tentang bagaimana mengubah tantangan menjadi peluang.
Daftar 5 Perusahaan yang Bisnisnya Gagal
Nokia
Nokia, siapa yang tidak kenal dengan merek ponsel legendaris ini? Di tahun 1990-an dan 2000-an, Nokia adalah raja dalam industri telepon seluler, dengan pangsa pasar yang mendominasi hampir seluruh dunia. Di setiap sudut kota, dari negara maju hingga negara berkembang, ponsel Nokia menjadi alat komunikasi yang sangat populer. Keberhasilan ini tidak lepas dari inovasi mereka yang terus berlanjut dalam menghadirkan perangkat keras berkualitas, ketahanan baterai yang luar biasa, serta desain yang fungsional dan sederhana.
Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, lanskap industri ponsel mulai berubah drastis. Internet, data, dan aplikasi menjadi semakin penting dalam kehidupan sehari-hari. Konsumen tidak lagi hanya mencari ponsel yang kuat dan tahan lama, tetapi juga yang dapat mengakses internet dengan cepat, menjalankan aplikasi yang kompleks, dan terintegrasi dengan ekosistem digital yang lebih luas. Sementara itu, Nokia tetap fokus pada pembaruan perangkat keras mereka, seperti kualitas kamera dan ketahanan fisik ponsel, tanpa menyadari bahwa nilai utama bagi konsumen telah bergeser ke arah perangkat lunak dan pengalaman pengguna.
Persaingan mulai memanas ketika pemain baru, seperti Apple dan Google, masuk dengan pendekatan berbeda. Mereka menghadirkan perangkat yang tidak hanya cantik secara desain, tetapi juga menawarkan sistem operasi canggih seperti iOS dan Android yang kaya akan aplikasi dan memungkinkan pengguna untuk melakukan lebih dari sekadar menelepon dan mengirim pesan. Ketika ponsel pintar (smartphone) mulai mendominasi pasar, Nokia justru terlambat merespons. Ketergantungan mereka pada sistem operasi Symbian, yang sudah mulai ketinggalan zaman, serta penolakan awal untuk mengadopsi Android, membuat mereka kehilangan posisi yang dulu tak tergoyahkan.
Keengganan Nokia untuk berinovasi dalam perangkat lunak menjadi titik lemah utama. Mereka gagal melihat bahwa kekuatan masa depan bukan hanya pada fisik perangkat, tetapi pada kemampuan ponsel untuk menghubungkan orang dengan dunia digital yang semakin kompleks. Keterlambatan dalam mengadopsi teknologi baru dan inovasi yang relevan membuat produk mereka mulai terasa usang, tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin mengutamakan fungsi, kecepatan, dan konektivitas.
Akibatnya, Nokia yang pernah merajai pasar ponsel global harus menyerahkan tahtanya kepada para pesaing yang lebih inovatif. Penurunan pangsa pasar terjadi dengan cepat, dan pada tahun 2013, mereka bahkan harus menjual divisi ponsel mereka ke Microsoft dalam upaya untuk bertahan hidup.
Namun, kisah Nokia tidak berakhir di situ. Dalam beberapa tahun terakhir, Nokia telah berhasil bangkit kembali dengan merombak total bisnisnya. Mereka beralih fokus ke teknologi jaringan dan solusi 5G, yang menjadi tulang punggung revolusi digital global. Nokia membuktikan bahwa meski jatuh, mereka tidak menyerah. Dengan strategi yang tepat, perusahaan ini berhasil menemukan kembali relevansinya di pasar yang berubah cepat, dan sekali lagi menunjukkan bahwa inovasi dan adaptasi adalah kunci utama untuk bertahan dalam dunia bisnis yang dinamis.
Yahoo
Yahoo, yang pernah menjadi raksasa di dunia internet, tidak asing bagi kebanyakan orang. Pada masa kejayaannya, Yahoo adalah pilihan utama untuk layanan email dan portal berita online, serta menjadi salah satu brand yang paling dikenal di dunia maya. Khususnya dalam bidang pemasaran online, Yahoo memainkan peran penting dengan menawarkan berbagai layanan yang menghubungkan pengguna dengan konten dan iklan.
Namun, keberhasilan ini juga membawa konsekuensi yang tidak terduga. Dengan posisinya yang dominan, Yahoo menjadi nyaman dan merasa aman dengan strategi mereka, sehingga kurang responsif terhadap perubahan yang cepat di industri teknologi. Salah satu keputusan strategis yang sangat berpengaruh adalah ketika Yahoo memilih untuk tidak terlalu fokus pada pengembangan mesin pencari mereka sendiri. Sebaliknya, mereka lebih memilih untuk menjadi perusahaan media terbesar, mengabaikan potensi besar dalam bisnis pencarian yang kemudian dimanfaatkan oleh Google.
Kesempatan demi kesempatan terlewatkan oleh Yahoo. Salah satu momen kritis adalah ketika mereka gagal mengakuisisi Google pada masa awal perkembangannya. Keputusan ini menjadi salah satu penyesalan terbesar dalam sejarah perusahaan. Selain itu, Yahoo juga melewatkan peluang untuk berinovasi dalam teknologi pencarian, iklan berbasis pencarian, dan data analitik—bidang yang akhirnya menjadi fondasi kesuksesan Google.
Merasa nyaman dengan posisi mereka, Yahoo tidak segera merespons pergeseran yang terjadi di pasar. Mereka terjebak dalam model bisnis lama dan gagal beradaptasi dengan dinamika baru di mana pencarian internet menjadi inti dari ekosistem digital yang berkembang pesat. Sementara itu, Google terus berinovasi, memperbaiki algoritma pencariannya, dan memperluas layanannya hingga mencakup berbagai aspek kehidupan digital, mulai dari email hingga peta, hingga cloud computing.
Akhirnya, Yahoo tidak bisa bersaing dengan kecepatan inovasi Google. Seiring waktu, Yahoo kehilangan relevansi dan pangsa pasar yang mereka miliki. Pada tahun 2017, Yahoo dijual ke Verizon, menandai berakhirnya era Yahoo sebagai perusahaan independen. Ini adalah pelajaran pahit tentang bagaimana perasaan nyaman dan ketidakmauan untuk mengambil risiko dapat menjadi bumerang bagi perusahaan, terutama di industri yang bergerak secepat teknologi.
Yahoo, yang dulu merupakan salah satu pemimpin pasar, menjadi contoh nyata bagaimana kegagalan untuk beradaptasi dan berinovasi dapat mengakibatkan jatuhnya perusahaan besar. Di sisi lain, kisah ini juga menggarisbawahi pentingnya terus berinovasi dan memanfaatkan setiap peluang yang ada, seperti yang dilakukan oleh Google, yang kini telah menjadi raksasa global dalam bidang data dan teknologi.
Blackberry
Blackberry, dengan fitur ikoniknya BBM (Blackberry Messenger), pernah menjadi pionir dalam dunia komunikasi mobile di era 2010-an. BBM menawarkan pengalaman berkomunikasi yang revolusioner pada zamannya—praktis, instan, dan aman—serta berhasil menciptakan tren yang meluas terutama di kalangan anak muda dan profesional. Desain Blackberry yang khas dengan keyboard QWERTY fisik memberikan pengalaman mengetik yang nyaman dan cepat, menjadikannya pilihan utama bagi mereka yang sering berkomunikasi melalui pesan teks atau email.
Namun, di balik kesuksesan tersebut, terdapat masalah mendasar yang kemudian menjadi titik balik bagi Blackberry. Dunia teknologi bergerak dengan cepat, dan inovasi baru muncul hampir setiap saat. Ketika Apple memperkenalkan iPhone dengan desain layar sentuh penuh pada tahun 2007, pasar ponsel mulai bergeser secara drastis. Konsumen beralih ke perangkat yang menawarkan layar lebih besar, kemudahan navigasi melalui sentuhan, dan akses ke berbagai aplikasi yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Sayangnya, Blackberry gagal merespons perubahan ini dengan cepat. Mereka tetap teguh mempertahankan desain keyboard fisik mereka, dengan keyakinan bahwa keunggulan ini cukup untuk menjaga posisi mereka di pasar. Meski sempat merilis perangkat dengan layar sentuh, respons Blackberry terhadap tren layar sentuh dianggap terlambat dan tidak cukup kompetitif dibandingkan dengan iPhone dan perangkat Android yang semakin populer.
Selain itu, fokus Blackberry yang berlebihan pada BBM dan fitur-fitur tradisional mereka menyebabkan mereka mengabaikan perkembangan ekosistem aplikasi yang mulai menjadi pusat perhatian pengguna smartphone. Sementara iOS dan Android dengan cepat menarik minat para pengembang aplikasi, yang menciptakan ekosistem aplikasi yang kaya dan bervariasi, Blackberry tetap terbatas pada aplikasi yang terbilang minim dan kurang inovatif. Ini semakin memperlebar kesenjangan antara Blackberry dan para pesaingnya.
Akibat dari pendekatan yang kaku dan kurang adaptif ini, Blackberry mulai kehilangan daya saingnya. Ponsel mereka, yang dulu mendominasi pasar, perlahan-lahan tergeser oleh perangkat lain yang lebih modern dan memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang. Ketika akhirnya Blackberry mencoba mengejar ketertinggalan dengan merilis perangkat berbasis Android, momentum mereka sudah hilang, dan konsumen telah beralih ke merek-merek lain yang menawarkan pengalaman pengguna yang lebih baik dan inovatif.
Keputusan Blackberry untuk tetap mempertahankan apa yang mereka buat, tanpa mempertimbangkan dinamika pasar dan keinginan konsumen yang berubah, menjadi faktor utama di balik kejatuhan mereka. Pelajaran yang bisa diambil dari kasus Blackberry adalah bahwa inovasi dalam teknologi tidak hanya tentang memperbaiki apa yang sudah ada, tetapi juga tentang merespons dengan cepat perubahan dalam preferensi dan kebutuhan pasar. Dalam dunia teknologi yang bergerak cepat, kemampuan untuk beradaptasi dan berinovasi secara terus-menerus adalah kunci untuk tetap relevan dan bertahan di pasar.
Blackberry kini telah bertransformasi menjadi perusahaan yang fokus pada layanan perangkat lunak keamanan siber dan solusi perusahaan, setelah memutuskan untuk keluar dari bisnis perangkat keras. Meski begitu, perjalanan mereka tetap menjadi contoh penting tentang bagaimana kesuksesan masa lalu tidak selalu menjamin keberlanjutan di masa depan tanpa inovasi yang berkelanjutan.
My Space
MySpace, sebelum kehadiran Facebook yang kini menjadi raksasa media sosial, adalah platform yang mendominasi dunia jejaring sosial di awal tahun 2000-an. Pada puncak kejayaannya, MySpace menawarkan berbagai fitur yang sangat disukai oleh penggunanya, seperti kemampuan untuk mempersonalisasi profil, berbagi musik, dan berinteraksi dengan komunitas yang luas. MySpace menjadi pusat kreativitas, di mana pengguna dapat mengekspresikan diri mereka melalui desain halaman yang unik dan playlist musik pribadi.
Namun, pertumbuhan Facebook yang sangat cepat dan inovatif mulai mengancam dominasi MySpace. Facebook memperkenalkan konsep yang lebih sederhana dan fokus pada pengalaman pengguna yang lebih bersih dan terhubung. Seiring waktu, semakin banyak pengguna yang beralih dari MySpace ke Facebook, yang menawarkan interaksi sosial yang lebih efisien dan terorganisir, serta fitur-fitur baru seperti News Feed dan aplikasi pihak ketiga yang menarik.
MySpace, yang pernah menjadi pelopor di bidangnya, mulai kehilangan relevansi karena ketidakmampuan untuk berinovasi dan beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan yang dibawa oleh Facebook. Meskipun MySpace berusaha untuk mengubah arahnya dengan berfokus pada musik dan hiburan pada tahun 2011, upaya ini datang terlalu terlambat. Pengguna yang telah beralih ke Facebook merasa nyaman di sana, dan sulit bagi MySpace untuk menarik mereka kembali, meskipun dengan pendekatan yang baru.
Transformasi MySpace menjadi platform musik dan hiburan memang menunjukkan upaya mereka untuk tetap relevan, namun strategi ini tidak cukup untuk mengatasi kerugian besar yang telah mereka alami. Selain itu, persaingan yang semakin ketat di industri musik digital dengan kehadiran platform seperti Spotify dan SoundCloud, membuat MySpace semakin sulit untuk bersaing.
Pada akhirnya, MySpace menjadi contoh nyata tentang bagaimana perusahaan yang pernah memimpin pasar dapat jatuh jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi dan preferensi pengguna. Pelajaran dari kisah MySpace adalah pentingnya inovasi yang berkelanjutan dan kecepatan dalam merespons perubahan di industri yang bergerak cepat. Meskipun MySpace tetap ada sebagai platform khusus, kejayaannya di masa lalu kini hanya menjadi kenangan dari era awal media sosial.
Motorola
Motorola, sebelum era kejayaan Nokia, adalah pelopor dalam industri telepon seluler. Pada tahun 1980-an dan 1990-an, Motorola berhasil menguasai pasar dengan berbagai tipe ponsel yang inovatif dan memenuhi kebutuhan konsumen saat itu. Salah satu produk paling ikonik dari Motorola adalah ponsel *flip* Motorola StarTAC, yang menjadi simbol status dan revolusi dalam desain telepon seluler. Keberhasilan Motorola tidak terlepas dari fokus mereka pada pengembangan perangkat keras berkualitas tinggi yang menghadirkan daya tahan dan desain yang menarik.
Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi dan kebutuhan konsumen di awal 2000-an, Motorola menghadapi tantangan besar. Sama seperti Nokia, Motorola terlalu fokus pada pengembangan perangkat keras mereka, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada perangkat lunak yang mulai memainkan peran penting dalam pengalaman pengguna. Ketika dunia teknologi bergerak menuju era ponsel pintar dengan sistem operasi yang canggih, Motorola tertinggal.
Salah satu kesalahan terbesar Motorola adalah ketidakmampuan mereka untuk merespons dengan cepat peralihan ke jaringan 3G dan teknologi perangkat lunak yang lebih maju. Di saat para pesaing seperti Apple dan Samsung mulai merilis produk dengan kemampuan internet yang lebih baik, serta dukungan aplikasi yang lebih beragam, Motorola tetap fokus pada peningkatan fisik perangkat tanpa memikirkan bagaimana ponsel mereka akan digunakan dalam ekosistem digital yang berkembang pesat.
Motorola juga gagal dalam membaca perubahan preferensi konsumen yang semakin tertarik pada smartphone dengan layar sentuh dan ekosistem aplikasi yang mendukung berbagai kebutuhan sehari-hari. Sementara pesaing mereka mulai menawarkan ponsel dengan kemampuan browsing yang lebih cepat, akses ke media sosial, dan aplikasi produktivitas, Motorola masih bertahan dengan strategi lama mereka yang semakin tidak relevan di pasar yang cepat berubah.
Akibat dari pendekatan yang kaku ini, Motorola tidak mampu bersaing dengan inovasi yang dihadirkan oleh perusahaan-perusahaan baru yang lebih tanggap terhadap perkembangan teknologi. Pangsa pasar Motorola terus menurun, dan pada akhirnya mereka kehilangan posisi dominan yang dulu mereka miliki.
Meski kemudian Motorola mencoba untuk kembali berkompetisi di pasar smartphone dengan meluncurkan beberapa model berbasis Android setelah diakuisisi oleh Google pada tahun 2012, mereka tidak pernah benar-benar kembali ke kejayaan yang pernah mereka rasakan. Strategi yang terlambat dan kegagalan untuk berinovasi sejak dini membuat Motorola sulit bersaing dengan para pemain besar yang sudah mapan di industri.
Kisah Motorola menjadi pengingat penting bahwa dalam industri teknologi yang cepat berubah, perusahaan harus mampu beradaptasi tidak hanya pada peningkatan perangkat keras, tetapi juga pada perkembangan perangkat lunak dan jaringan yang semakin menjadi inti dari pengalaman pengguna. Motorola yang pernah menjadi pemimpin pasar, akhirnya menjadi contoh bagaimana ketidakmampuan untuk berinovasi secara menyeluruh dapat mengakibatkan jatuhnya perusahaan besar dari puncak kesuksesan.
Baca juga : Model Bisnis Proses Populer dan Contohnya
Kebangkitan Perusahaan Nokia
Kegagalan awal Nokia di pasar smartphone adalah salah satu contoh paling menonjol dari bagaimana perusahaan besar bisa terperosok karena salah langkah strategis. Di puncak kejayaannya, Nokia menguasai pasar ponsel global dengan pangsa yang sangat dominan. Namun, ketika pasar mulai beralih ke smartphone, Nokia terlambat merespons perubahan tersebut. Salah satu kesalahan terbesar mereka adalah kegagalan dalam mengadopsi Android sebagai sistem operasi mereka. Sementara pesaing seperti Samsung dengan cepat merangkul Android, Nokia tetap bertahan dengan Symbian yang sudah ketinggalan zaman dan kemudian beralih ke Windows Phone, yang sayangnya tidak dapat menyaingi popularitas Android dan iOS. Keterlambatan ini, ditambah dengan keengganan untuk berinovasi dalam perangkat lunak, membuat Nokia kehilangan posisi dominannya.
Namun, perjalanan Nokia tidak berakhir dengan kegagalan ini. Mereka mengambil langkah-langkah signifikan untuk bangkit kembali, dengan memfokuskan ulang bisnis mereka dari produksi perangkat keras ponsel ke teknologi jaringan dan solusi komunikasi. Langkah pertama dalam kebangkitan Nokia adalah transformasi perusahaan menjadi pemain utama dalam industri jaringan, terutama dengan fokus pada pengembangan teknologi 5G. Teknologi ini menjadi kunci dalam revolusi industri 4.0, di mana jaringan yang cepat dan stabil sangat diperlukan untuk mendukung berbagai inovasi seperti Internet of Things (IoT), kendaraan otonom, dan smart cities. Nokia juga melakukan restrukturisasi besar-besaran, menjual divisi ponsel mereka ke Microsoft, dan berfokus pada kerjasama strategis dengan berbagai perusahaan dan pemerintah di seluruh dunia untuk mengembangkan infrastruktur jaringan.
Hasil dari langkah-langkah kebangkitan ini mulai terlihat. Nokia kini telah kembali menjadi pemain penting di industri teknologi global, meskipun dalam bidang yang berbeda dari sebelumnya. Mereka berhasil membangun kembali reputasi mereka sebagai perusahaan yang inovatif dan relevan, khususnya dalam teknologi jaringan dan 5G. Prestasi terbaru Nokia mencakup berbagai kontrak besar untuk pengembangan jaringan 5G di seluruh dunia, serta kemitraan strategis dengan perusahaan teknologi lainnya. Kebangkitan Nokia tidak hanya menyelamatkan perusahaan dari kehancuran, tetapi juga memberikan dampak signifikan pada industri teknologi secara keseluruhan, dengan menegaskan pentingnya inovasi berkelanjutan dan kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan pasar.
Baca juga : Transformasi Bisnis dengan BPM: Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas
Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Kegagalan dan Kebangkitan Perusahaan Tersebut
Dari kegagalan dan kebangkitan perusahaan-perusahaan yang telah disebutkan, terdapat beberapa pelajaran bisnis yang sangat berharga. Kegagalan yang dialami oleh perusahaan-perusahaan seperti Nokia, Motorola, Blackberry, dan MySpace menunjukkan bahwa tidak ada kesuksesan yang dapat bertahan lama tanpa inovasi dan adaptasi yang berkelanjutan. Satu kesalahan besar yang sering terjadi adalah ketidakmampuan untuk merespons perubahan pasar dengan cepat. Ketika perusahaan-perusahaan ini gagal untuk mengikuti perkembangan teknologi dan kebutuhan konsumen yang berubah, mereka dengan cepat kehilangan pangsa pasar mereka kepada para pesaing yang lebih gesit dan inovatif.
Namun, kebangkitan Nokia memberikan contoh positif tentang bagaimana perusahaan dapat bangkit dari kegagalan. Setelah kehilangan posisi dominan di pasar ponsel, Nokia mengubah strategi bisnis mereka dan fokus pada teknologi jaringan, khususnya pengembangan 5G. Langkah ini menunjukkan pentingnya kesediaan untuk meninggalkan model bisnis yang tidak lagi relevan dan beralih ke bidang baru yang memiliki potensi pertumbuhan. Nokia juga menunjukkan bahwa kerjasama strategis dan restrukturisasi internal dapat menjadi kunci dalam menghadapi tantangan besar dan mengarahkan perusahaan ke jalur baru yang lebih menjanjikan.
Bagi perusahaan lain yang ingin menghindari kegagalan dan mencapai kebangkitan, ada beberapa tips penting yang bisa dipetik. Pertama, selalu pantau perubahan tren teknologi dan kebutuhan pasar, dan jangan ragu untuk mengubah arah jika diperlukan. Kedua, berinvestasi dalam inovasi, baik dalam produk maupun model bisnis, agar tetap relevan dan kompetitif. Ketiga, fleksibilitas dalam strategi dan struktur organisasi sangat penting untuk dapat beradaptasi dengan cepat terhadap dinamika industri. Dan terakhir, jangan meremehkan pentingnya kolaborasi dan kemitraan strategis, yang dapat membantu perusahaan memanfaatkan peluang baru dan mengatasi tantangan yang muncul. Dengan menerapkan pelajaran ini, perusahaan dapat lebih siap menghadapi perubahan dan mempertahankan kesuksesan jangka panjang mereka.
Kesimpulan
Inovasi dan kemampuan beradaptasi adalah dua pilar utama yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan yang ingin bertahan dan berkembang dalam dunia bisnis yang dinamis. Sejarah telah menunjukkan bahwa bahkan perusahaan besar yang pernah mendominasi pasar dapat jatuh jika gagal merespons perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Kegagalan Nokia, Motorola, Blackberry, dan lainnya menjadi pelajaran penting bahwa kesuksesan masa lalu tidak menjamin keberhasilan di masa depan tanpa terus-menerus berinovasi dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar yang berkembang.
Namun, seperti yang ditunjukkan oleh kebangkitan Nokia, perusahaan yang mampu belajar dari kesalahan mereka, merombak strategi, dan berani mengambil langkah-langkah baru dapat bangkit kembali dan menemukan jalan menuju kesuksesan yang baru. Oleh karena itu, penting bagi kita semua, baik pengusaha maupun individu, untuk terus belajar dari perjalanan perusahaan besar, baik dari kegagalan maupun kesuksesan mereka, agar dapat menghindari kesalahan serupa dan mencapai keberhasilan yang berkelanjutan di masa depan.
Business Process Management (BPM) dari Proxsis Group dirancang untuk membantu perusahaan merancang, mengelola, dan mengoptimalkan proses bisnis secara efektif. Dengan pendekatan yang terstruktur, BPM memastikan setiap proses dalam organisasi berjalan dengan efisien, mengurangi biaya operasional, dan meningkatkan kualitas layanan. Melalui pelatihan ini, perusahaan dapat mencapai keunggulan kompetitif dengan cara yang lebih sistematis dan berkelanjutan.
Tingkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan Anda dengan mengikuti pelatihan Business Process Management dari Proxsis Group. Jadikan setiap proses bisnis lebih terstruktur dan optimal untuk mencapai hasil terbaik.