Industri manufaktur sering dianggap ujung tombak transformasi ekonomi dari produksi barang, penciptaan nilai tambah, hingga membuka lapangan kerja. Namun ketika sektor ini hanya tumbuh sekitar 5,6 %, muncul pertanyaan apakah angka itu sudah mencerminkan kekuatan nyata atau menyembunyikan tanda-tanda kelemahan struktural.
Dalam artikel ini akan menelusuri apa arti pertumbuhan 5,6 % itu, menguraikan fakta-fakta yang menunjukkan kelemahan tersembunyi di sektor manufaktur, serta menawarkan pandangan yang lebih kritis tentang tantangan yang harus dihadapi agar pertumbuhan tidak stagnan tetapi berkualitas.
Industri Manufaktur
Industri manufaktur meliputi proses produksi barang dari bahan baku melalui transformasi mekanis, kimiawi, atau kombinasi teknik, hingga menjadi produk jadi siap konsumsi atau ekspor. Sektor ini penting karena memperkuat rantai nilai domestik dan mengurangi ketergantungan impor pada produk setengah jadi atau barang jadi.
Selain itu, manufaktur memiliki efek pengganda (multiplier effect) terhadap berbagai sektor lain, termasuk logistik, energi, transportasi, serta jasa keuangan. Ketika satu pabrik beroperasi, rantai pasok yang menyertainya, mulai dari pemasok bahan mentah, jasa transportasi, hingga distributor produk akhir — ikut bergerak. Inilah sebabnya mengapa negara-negara maju menjadikan manufaktur sebagai motor utama pembangunan.
Di Indonesia, sektor ini masih menjadi penyumbang besar terhadap PDB non-migas, bahkan meski menghadapi berbagai tantangan global. Perannya tidak hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam menjaga stabilitas sosial karena menyerap jutaan tenaga kerja langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, kondisi industri manufaktur tidak hanya berbicara soal angka pertumbuhan, tetapi juga kesejahteraan masyarakat luas.
Baca juga : Risk-Integrated Budgeting 2026: Strategi Inovatif Mengalokasikan Sumber Daya GRC untuk Ketahanan Bisnis
Industri Manufaktur 2025
Menurut data BPS, industri pengolahan non-migas mencatat pertumbuhan sebesar 5,60 % (year-on-year) pada triwulan II tahun 2025. Kementerian Perindustrian menegaskan bahwa angka tersebut menunjukkan daya tahan sektor manufaktur di tengah tekanan global dan tantangan pasokan.
Namun, sejumlah pengamat menyoroti bahwa pertumbuhan ini belum sepenuhnya mencerminkan kondisi nyata di lapangan. Indeks PMI manufaktur, misalnya, sempat turun di bawah level 50 yang berarti kontraksi, sehingga menimbulkan kesan adanya kesenjangan antara data resmi dan realitas operasional industri.
Selain itu, beberapa subsektor seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik masih mengalami hambatan akibat permintaan global yang melambat, sementara subsektor otomotif dan makanan-minuman justru mendorong pertumbuhan agregat. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan 5,6 % lebih bersifat sektoral, bukan merata, dan jika tidak diantisipasi bisa menimbulkan kerentanan struktural di masa depan.
Baca juga : Navigasi Risiko 2026:Panduan Komprehensif untuk Pemetaan dan Mitigasi Risiko Korporat
Fakta Industri Manufaktur Indonesia Merosot
Pertumbuhan 5,6 % memang terdengar positif, tetapi jika ditelusuri lebih jauh terdapat sejumlah indikator yang memperlihatkan lemahnya fondasi industri manufaktur. Angka ini bukan sekadar hasil kinerja sektor yang stabil, melainkan juga cerminan adanya ketidakseimbangan antara subsektor dan kesenjangan antara data resmi dengan realitas di lapangan.
Kontradiksi antara data BPS dan Indeks PMI
Walaupun BPS melaporkan pertumbuhan positif, indeks PMI manufaktur sempat mencatat angka di bawah 50, yang berarti kontraksi operasional. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun produksi meningkat dalam angka agregat, aktivitas harian sektor manufaktur mungkin mengalami tekanan.Penyerapan Tenaga Kerja Menurun (Fenomena Regressif)
Studi menunjukkan bahwa dalam beberapa subsektor manufaktur, peningkatan efisiensi dan kapabilitas teknologi justru tidak diiringi pertumbuhan tenaga kerja; dalam beberapa kasus, tenaga kerja malah tergerus. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan angka produksi tidak otomatis diterjemahkan menjadi peningkatan kesempatan kerja.Pertumbuhan Investasi yang Belum Merata
Meskipun ada laporan bahwa lebih dari 1.600 perusahaan melaporkan pembangunan fasilitas baru, investasi ini cenderung terkonsentrasi pada sektor-sektor tertentu dan lokasi-lokasi strategis, meninggalkan wilayah industri yang kurang berkembang.Ketergantungan pada Impor Bahan Baku dan Komponen
Banyak sektor manufaktur masih bergantung pada bahan baku impor atau barang setengah jadi, membuat margin keuntungan rentan terhadap fluktuasi kurs dan hambatan perdagangan.Keterlambatan Adopsi Teknologi dan Transformasi Digital
Beberapa pabrik masih mengoperasikan mesin-mesin lama, kurang melakukan automasi, dan belum mengintegrasikan industri 4.0 / smart manufacturing. Hal ini membuat efisiensi produksi sulit meningkat secara signifikan.Ekspor Manufaktur Tidak Tumbuh Seimbang
Pertumbuhan produksi domestik tidak selalu diimbangi oleh peningkatan ekspor. Jika ekspor stagnan namun produksi meningkat, bisa muncul tekanan oversupply dalam pasar domestik dan margin keuntungan yang menyempit.
Baca juga : ESG-GRC Convergence:Transformasi Strategis Menuju Tata Kelola Perusahaan Berkelanjutan yang Tangguh
Productivity & Quality Consulting
Menghadapi tantangan tersebut, sektor manufaktur membutuhkan pendampingan agar pertumbuhannya tidak sekadar kuantitatif, tetapi berkualitas dan berkelanjutan. Proxsis menawarkan Productivity & Quality Consulting yang dikhususkan untuk industri manufaktur.
Layanan ini mencakup analisis proses, peningkatan efisiensi, penerapan lean manufacturing, kontrol mutu yang terukur, digitalisasi proses produksi, hingga penguatan rantai pasok. Dengan pendekatan konsultatif dan implementatif, Proxsis membantu perusahaan mengubah hambatan menjadi peluang untuk tumbuh lebih kokoh dan kompetitif di pasar global.
Apa yang Ditawarkan dalam Layanan ini
Business Process Management (BPM)
Menganalisa, merancang, dan menyelaraskan proses bisnis perusahaan agar lebih ramping, bebas hambatan, dan terukur.Standard Operating Procedure (SOP) Development
Membuat prosedur kerja standar yang jelas sehingga seluruh bagian organisasi memiliki tuntunan operasional yang seragam.Pengembangan Kebijakan & Pedoman Internal (Corporate Policy & Guideline Development)
Menyusun kebijakan, pedoman, dan aturan internal yang memastikan integritas operasional dan kepatuhan hukum/regulator.Quality Tools & Standard Management Systems
Penerapan alat mutu (quality tools), audit mutu, pengendalian mutu, serta standar mutu seperti ISO 9001, IATF, dan lainnya untuk meningkatkan mutu produk dan layanan.Transformative Productivity Initiatives
Upaya perbaikan produktivitas melalui identifikasi waste, optimalisasi sumber daya, efisiensi waktu, dan pengurangan biaya operasional.
Manfaat yang Dapat Anda Peroleh
Peningkatan efisiensi kerja: proses lebih cepat, hambatan berkurang
Pengurangan biaya operasional dan downtime
Peningkatan mutu hasil kerja yang konsisten dan sesuai standar
Budaya kerja yang lebih disiplin dan berorientasi kualitas
Kepuasan stakeholder dan pelanggan yang meningkat
Bersama Proxsis Productivity & Quality, jadikan efisiensi dan mutu sebagai kekuatan kompetitif organisasi Anda.Jangan biarkan proses yang tidak optimal membebani bisnis Anda — ubah hambatan menjadi peluang pertumbuhan.

FAQ: Pertanyaan yang Sering Diajukan tentang Industri Manufaktur Indonesia
1. Mengapa pertumbuhan industri manufaktur Indonesia hanya 5,6% dianggap rendah?
Karena meskipun terlihat positif, angka tersebut belum merata antar subsektor. Beberapa sektor seperti otomotif tumbuh pesat, tapi subsektor lain seperti tekstil dan elektronik justru melemah.
2. Apa arti indeks PMI manufaktur di bawah 50?
PMI < 50 berarti aktivitas manufaktur sedang kontraksi. Artinya, meski data BPS menunjukkan pertumbuhan, kenyataan di lapangan bisa menunjukkan tekanan operasional.
3. Mengapa penyerapan tenaga kerja di industri manufaktur menurun?
Banyak perusahaan beralih ke teknologi, automasi, dan efisiensi, sehingga produksi meningkat tanpa harus menambah tenaga kerja.
4. Apa tantangan terbesar industri manufaktur Indonesia saat ini?
Ketergantungan impor bahan baku, investasi yang tidak merata, keterlambatan adopsi teknologi, serta stagnasi ekspor dibanding pertumbuhan produksi.
5. Bagaimana dampak ketergantungan impor bahan baku terhadap manufaktur?
Harga bahan baku sangat rentan terhadap fluktuasi kurs dan hambatan perdagangan, sehingga bisa menekan margin keuntungan perusahaan.
6. Mengapa ekspor manufaktur Indonesia tidak tumbuh seimbang dengan produksi?
Karena sebagian besar peningkatan produksi diserap pasar domestik. Jika ekspor tidak berkembang, bisa terjadi oversupply yang menurunkan margin keuntungan.
7. Bagaimana cara meningkatkan daya saing industri manufaktur Indonesia?
Dengan mempercepat adopsi industri 4.0, mengurangi ketergantungan impor, memperluas pasar ekspor, dan memperkuat rantai pasok domestik.
8. Apa itu Productivity & Quality Consulting dari Proxsis?
Layanan konsultasi untuk membantu perusahaan manufaktur meningkatkan efisiensi, mutu, dan produktivitas melalui BPM, SOP, sistem mutu, hingga transformasi digital.
9. Apa manfaat utama konsultasi produktivitas & kualitas bagi industri manufaktur?
Efisiensi kerja meningkat, biaya operasional berkurang, mutu produk lebih konsisten, serta kepuasan stakeholder dan pelanggan lebih tinggi.
10. Bagaimana cara perusahaan manufaktur mengakses layanan Proxsis?
Perusahaan bisa mengunjungi situs resmi Proxsis di strategy.proxsisgroup.com/services/productivity-quality untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.







