Dunia fintech Indonesia baru saja tersentak. Investree, yang dulu dipuja sebagai pionir P2P Lending dan simbol kesuksesan digital, kini tengah berjuang di meja hijau dan pengawasan ketat OJK. Kabar mundurnya CEO Adrian Gunadi di tengah isu dugaan fraud (kecurangan) dan tingginya angka kredit macet (TWP90) menjadi tamparan keras bagi ekosistem investasi kita.
Kasus ini bukan sekadar cerita tentang bisnis yang merugi karena kondisi pasar. Ini adalah textbook example tentang apa yang terjadi ketika Good Corporate Governance (GCG) atau Tata Kelola Perusahaan yang Baik absen dari ruang rapat direksi. Bagi Anda investor maupun pemilik bisnis, kasus Investree adalah alarm tanda bahaya: Bahwa kilau status "Unicorn" atau teknologi canggih tidak ada artinya jika pondasi etikanya rapuh.
Apa Itu Kegagalan GCG dalam Konteks Investree?
Secara sederhana, GCG adalah seperangkat aturan main yang memastikan perusahaan dijalankan dengan transparan, adil, dan bertanggung jawab. Dalam kasus Investree, dugaan kegagalan GCG terlihat dari indikasi penyalahgunaan wewenang manajemen dan kurangnya pengawasan internal.
Ketika dana lender (pemberi pinjaman) yang seharusnya disalurkan ke peminjam bonafide malah diduga dialihkan ke perusahaan cangkang atau digunakan tidak sesuai peruntukan, itu adalah pelanggaran prinsip Akuntabilitas dan Transparansi. Ini menunjukkan bahwa mekanisme checks and balances, di mana Komisaris mengawasi Direksi tidak berjalan sebagaimana mestinya. GCG yang gagal mengubah perusahaan menjadi "kotak hitam"; dari luar terlihat rapi, tapi di dalamnya berantakan.
Baca juga : Investree dan Kegagalan GCG:Pelajaran Penting sebelum Berinvestasi di P2P Lending
Mengapa Memahami Ini Sangat Penting?
Mengapa kita harus peduli soal GCG? Bukankah yang penting return (imbal hasil) tinggi? Jawabannya: Karena GCG adalah pengaman modal Anda.
Tanpa GCG, angka-angka dalam laporan keuangan bisa dimanipulasi. Tanpa GCG, keputusan investasi perusahaan bisa didasarkan pada kepentingan pribadi oknum, bukan keuntungan pemegang saham. Kasus Investree mengajarkan bahwa risiko terbesar investasi bukanlah fluktuasi ekonomi, melainkan Risiko Tata Kelola. Ketika tata kelola jebol, uang investor bukan cuma berkurang nilainya, tapi bisa hilang tak berbekas dibawa lari atau hangus dalam mismanagement.
Strategi Menghindari Jebakan Investasi Serupa
Sebagai investor atau pebisnis, kita tidak boleh lagi naif. Berikut strategi "Anti-Boncos" belajar dari kasus ini:
Look Beyond the Hype
Jangan silau dengan branding mewah atau dukungan modal ventura raksasa. Fokus pada fundamental: Bagaimana arus kas mereka? Apakah laporan keuangannya diaudit oleh auditor terpercaya?Cek Struktur Manajemen
Perusahaan yang sehat memiliki jajaran Komisaris yang independen dan vokal, bukan sekadar "stempel" teman-teman Direksi.Transparansi Data Kinerja
Perhatikan keterbukaan data kredit macet (NPL/TWP90). Jika sebuah platform mulai menyembunyikan data real-time atau mengubah definisi macetnya, itu adalah bendera merah (red flag).
Langkah Solusi Membangun Benteng GCG
Bagi perusahaan yang tidak ingin bernasib sama, perbaikan harus dilakukan dari dalam:
Penguatan Whistleblowing System (WBS)
Buat saluran pelaporan pelanggaran yang benar-benar anonim dan aman. Karyawan seringkali tahu ada yang salah lebih dulu daripada auditor, tapi takut melapor.Komite Risiko yang Bertaring
Bentuk komite pemantau risiko yang punya kuasa veto terhadap keputusan direksi yang terlalu agresif atau melanggar prosedur.Audit Forensik Berkala
Jangan hanya audit standar. Lakukan audit forensik secara acak untuk mendeteksi potensi fraud sejak dini.
Baca juga : Peran Manajemen Risiko dalam Mendukung Praktik Good Corporate Governance (GCG) yang Efektif
The "Halo Effect" Trap dan Jebakan Founder-Centric
a. Runtuhnya Mitos "Founder Bisa Segalanya"
Salah satu pelajaran termahal dari kasus Investree (dan banyak startup lainnya) adalah bahaya dari budaya Founder-Centric. Kita sering menganggap pendiri sebagai sosok visioner yang tidak bisa salah. Akibatnya, kekuasaan menumpuk pada satu orang (CEO). Dalam GCG yang benar, tidak boleh ada "Superman". Kekuasaan harus didistribusikan. Dewan Komisaris harus berani berkata "Tidak" kepada Founder, meskipun Founder tersebut yang mendirikan perusahaan dari nol. Ketika kultus individu mengalahkan sistem, di situlah bibit kehancuran bermula. Perusahaan harus berevolusi dari Founder-led menjadi System-led.
b. Etika di Atas Kepatuhan (Ethics Beyond Compliance)
Banyak perusahaan merasa aman karena sudah memenuhi aturan OJK. Padahal, aturan hanyalah standar minimum. Kasus pelanggaran GCG seringkali terjadi di area abu-abu yang secara teknis "belum dilarang" tapi secara moral salah. Pelajaran kuncinya adalah membangun budaya Integritas. Apakah manajemen mengambil keputusan berdasarkan "Apa yang benar?" atau "Apa yang bisa lolos dari aturan?". Perusahaan yang langgeng adalah yang menanamkan etika bisnis di atas sekadar kepatuhan regulasi checklist. GCG bukanlah dokumen SOP, GCG adalah karakter perusahaan saat tidak ada orang yang melihat.
c. Ilusi Pertumbuhan Semu (Growth at All Costs)
Investree, seperti banyak startup lainnya, berada di bawah tekanan untuk tumbuh cepat (hyper-growth). Seringkali, demi mengejar valuasi dan angka penyaluran pinjaman, prinsip kehati-hatian (prudent) dikorbankan. Credit scoring diperlonggar, verifikasi peminjam dipercepat asal-asalan. Ini adalah pelajaran bagi pebisnis: Pertumbuhan yang tidak didasari oleh tata kelola yang kuat adalah bom waktu. Lebih baik tumbuh pelan tapi fundamental kuat, daripada tumbuh eksponensial tapi rapuh dan meledak di kemudian hari.
Baca juga : Meningkatkan Kinerja Business Process dengan Penerapan Good Corporate Governance (GCG)
Jangan Biarkan Bisnis Anda Menjadi 'Investree' Berikutnya! Bangun Benteng Tata Kelola yang Kokoh dan Tahan Banting Bersama Proxsis Strategy.
Apakah Anda yakin sistem pengawasan di perusahaan Anda sudah cukup kuat mencegah fraud internal? Atau jangan-jangan, Anda sedang duduk di atas bom waktu masalah tata kelola yang belum terdeteksi? Belajar dari kasus raksasa yang tumbang, GCG bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban hidup mati perusahaan. Proxsis Strategy hadir sebagai mitra strategis Anda untuk mendiagnosa kesehatan tata kelola, merancang manajemen risiko yang prudent, dan membangun budaya kepatuhan yang nyata.
Kami tidak hanya memberikan teori. Konsultan ahli kami membantu Anda menyusun struktur Governance, Risk, and Compliance (GRC) yang aplikatif, memastikan setiap keputusan bisnis terlindungi dari risiko hukum dan reputasi. Lindungi pemegang saham, karyawan, dan masa depan bisnis Anda sekarang juga. Konsultasikan Kesehatan GCG Perusahaan Anda di Sini: https://strategy.proxsisgroup.com/

Kesimpulan
Kasus Investree adalah "biaya kuliah" yang mahal bagi industri keuangan Indonesia. Ia mengajarkan kita bahwa teknologi boleh mendisrupsi cara kita bertransaksi, tapi tidak boleh mendisrupsi integritas. GCG bukanlah aksesoris pemanis presentasi investor, melainkan sistem imun yang menjaga perusahaan tetap hidup saat diserang virus keserakahan dan kelalaian. Bagi investor, kecermatan menilai GCG adalah pelampung penyelamat; bagi pengusaha, penerapan GCG adalah tiket menuju keberlangsungan jangka panjang.
FAQ
1.Apa hubungan antara TWP90 tinggi dengan kegagalan GCG?
TWP90 yang tinggi menunjukkan kegagalan dalam manajemen risiko kredit. Dalam konteks GCG, ini berarti fungsi pengawasan (check and balance) dalam penyaluran pinjaman tidak berjalan, atau ada unsur kelalaian/kesengajaan dalam meloloskan peminjam yang tidak layak.
2.Apakah uang lender Investree bisa kembali?
Ini sedang dalam proses hukum dan penanganan OJK. Biasanya prosesnya panjang (restrukturisasi atau likuidasi). Pelajaran GCG-nya: diversifikasi investasi itu wajib karena risiko gagal bayar selalu ada.
3.Bagaimana cara investor ritel menilai GCG sebuah startup?
Cek rekam jejak pendirinya, lihat siapa investor institusinya (biasanya mereka melakukan due diligence ketat), dan baca laporan tahunannya. Apakah transparan? Apakah sering gonta-ganti manajemen kunci?
4.Apa peran OJK dalam kasus ini?
OJK bertindak sebagai regulator dan pengawas. Dalam kasus Investree, OJK telah menjatuhkan sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha jika perbaikan tidak dilakukan, serta memfasilitasi penanganan dugaan tindak pidana sektor jasa keuangan.
5.Apa bedanya fraud dengan risiko bisnis biasa?
Risiko bisnis adalah kerugian akibat kondisi pasar (misal: ekonomi lesu). Fraud adalah kerugian akibat tindakan curang yang disengaja (misal: penggelapan dana, pemalsuan laporan). GCG berfungsi mencegah fraud.
Referensi:
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). (2006). Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
CNBC Indonesia. (2024). Kronologi Kasus Investree: Dari Gagal Bayar hingga CEO Mundur.
Harvard Business Review. (2020). The Error at the Heart of Corporate Leadership.
ACFE (Association of Certified Fraud Examiners). Report to the Nations 2024: Global Study on Occupational Fraud and Abuse.







