Penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) masih menghadapi berbagai tantangan dalam praktik di perusahaan-perusahaan Indonesia. Hal ini disampaikan Co-Founder Proxsis & Co, Roni Sulistyo Sutrisno, saat berbagi pandangan mengenai implementasi lima pilar utama APU PPT sesuai regulasi OJK.
Baca juga : Memahami Kebijakan APU, PPT, dan PPPSPM
Kelima pilar tersebut meliputi: pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris, kebijakan dan prosedur, pengendalian internal, sistem informasi manajemen, serta sumber daya manusia (SDM) dan pelatihan.
Menurut Roni, banyak perusahaan belum memiliki ukuran keberhasilan yang memadai dalam menerapkan kelima pilar tersebut. Padahal, pengukuran menjadi hal penting untuk mengetahui apakah program berjalan secara efektif.
“Outcome dari penerapan APU PPT memang bersifat pencegahan, sehingga sulit diukur secara langsung. Bisa jadi perusahaan tidak terlibat dalam tindak pidana pencucian uang karena sistem deteksi yang kuat, atau memang tidak menjadi sasaran pelaku kejahatan,” ujar Roni dalam wawancara eksklusif.
Ia menjelaskan, agar program APU PPT berjalan efektif, perusahaan perlu memiliki leading indicator, bukan hanya mengandalkan hasil akhir atau lagging indicator. Misalnya, untuk pengawasan aktif direksi, indikator keberhasilan dapat dilihat dari adanya notulensi rapat yang mencatat pembahasan kajian risiko maupun hasil pengujian pengendalian internal.
“Setiap pilar harus punya indikator masing-masing. Misalnya, pelatihan SDM yang baik itu bukan hanya e-learning singkat, tapi bisa berupa simulasi atau skenario kasus,” jelasnya.
Roni menambahkan, masih banyak perusahaan yang belum memiliki indikator tersebut. Bahkan jika sudah ada, tidak jarang pengukurannya tidak dilakukan secara rutin, atau hasilnya tidak dianalisis dan tidak diikuti dengan perbaikan.
“Yang sering terjadi adalah program hanya dijalankan sebagai formalitas. Tidak diukur, tidak dianalisis, dan tidak diintegrasikan dalam manajemen risiko perusahaan,” ujarnya.
Meski demikian, Roni mencatat ada juga perusahaan yang berhasil menjadikan lima pilar APU PPT sebagai bagian dari inherent control. Mereka menjadikan indikator dalam setiap pilar sebagai bagian dari Key Performance Indicator (KPI) internal.
“Jika target tidak tercapai, maka kepala fungsi terkait bisa dinilai tidak mencapai kinerja yang diharapkan. Ini menandakan keseriusan mereka dalam mengelola risiko,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa penerapan APU PPT dan PPPSPM bukan lagi pilihan, tetapi keniscayaan. Program ini tidak perlu dianggap sebagai beban tambahan, melainkan bagian dari proses bisnis yang berjalan secara bertahap dan efisien.
“Mulailah dengan awareness, lalu bentuk sistem sederhana, review terus, dan lakukan penyempurnaan. Jika dilakukan terus-menerus, ini akan menjadi kebiasaan. Biaya tambahan pun bisa ditekan, dan efektivitasnya justru semakin meningkat,” katanya.
Roni berharap, dengan dukungan regulator dan meningkatnya kesadaran pelaku usaha, penerapan lima pilar APU PPT dapat menjadi bagian integral dari strategi mitigasi risiko di perusahaan.
“Program ini bukan sekadar kewajiban regulasi. Ini adalah bagian dari perlindungan bisnis agar tidak disalahgunakan untuk kegiatan yang melanggar hukum. Jika dilakukan secara konsisten dan terukur, hasilnya akan sangat positif bagi keberlangsungan perusahaan,” ujarnya.
Baca juga : Membedah Tantangan dan Solusi Implementasi Kebijakan APU dan PPT di Sektor Keuangan Indonesia

Jangan ragu untuk memulai perubahan positif dalam bisnis Anda! Konsultasikan strategi bisnis dan transformasi strategis bersama kami untuk mengarahkan perjalanan sukses Anda.
Butuh konsultasi lebih lanjut tentang
Governance, Risk, & Compliance
Share on :