Article

THE REAL STATE LOSS IS OPPORTUNITY LOSS

Ketika Risiko Kerugian Negara Justru Lahir dari Ketidakberanian Mengambil Keputusan

25 Nov 2025

windowpanes at the building
windowpanes at the building
windowpanes at the building

Ketika Keputusan Bisnis yang sudah melalui Kajian Profesional di Pidana

Keputusan bisnis yang sudah melalui kajian profesional diperlakukan sebagai perbuatan melawan hukum kini kembali terjadi. Majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada mantan pejabat PT ASDP, Ira Puspadewi, Harry MAC, dan Ferry M. Yusuf Hadi karena dianggap menimbulkan kerugian negara melalui aksi korporasi akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN). Kasus ini bukan satu-satunya. Kita dapat menyebut nama-nama lain: Hotasi Nababan (Merpati), Winny E. Hassan (Bank DKI), Karen Agustiawan (Pertamina), dan banyak lagi. Polanya sama: keputusan bisnis yang strategis dikriminalkan.

Jika dilihat dari dua sistem hukum besar (civil law dan common law) tidak menjadikan kerugian keuangan negara sebagai unsur inti delik, hanya di Indonesia saja diksi kerugian keuangan negara dijadikan unsur inti delik. Dalam dua sistem hukum yaitu civil law dan common law seseorang hanya dapat dipidana setelah terbukti melakukan unlawful act seperti fraud, penyalahgunaan kewenangan, suap, korupsi, dll. Sementara di dalam sistem hukum Indonesia khususnya di UU Tipikor, delik kerugian keuangan negara masuk ke perbuatan melawan hukum, Akibatnya, seseorang tetap dapat dipidana meskipun tidak terbukti melakukan fraud, penyalahgunaan kewenangan, atau suap.

Jika dilihat dari sejarahnya sendiri, delik kerugian keuangan negara ini tercipta sejak dari tahun 1957, tercantum di dalam Peraturan Penguasa Militer (PPM) yang ditandatangani oleh Jenderal AH Nasution, dimana konteks nya pada saat itu sedang dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Pertanyaannya, apakah rumusan yang lahir pada kondisi darurat tersebut masih relevan digunakan untuk menilai keputusan bisnis di tahun 2025?

 

Ketidaksinkronan Pemaknaan Kerugian Keuangan Negara

Kerugian keuangan negara sendiri ada di dalam UU Tipikor Pasal 2 dan Pasal 3, yang isinya sbb :

Pasal 2 :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Dan, Pasal 3 :

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Pemaknaan secara hukum, kerugian keuangan negara terbentuk jika secara aktual telah terjadi dan dapat dihitung bahwa terdapat selisih antara harga beli dan harga pasar dalam suatu transaksi di dalam aksi korporasi di BUMN/ Kementerian/ Lembaga dimana aksi tersebut akan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Padahal dalam dunia bisnis korporasi, transaksi yang “memperkaya pihak lain” bukanlah indikator pelanggaran, Itu hal yang normal dalam relasi bisnis, sepanjang tidak ada benturan kepentingan dan proses dilaksanakan melalui mekanisme tata kelola yang baik.

Disinilah terlihat akar persoalan, yaitu adanya ketidaksinkronan dalam pemaknaan dan pemahaman, yaitu cara negara memahami kerugian keuangan negara. Ketidaksinkronan ini akan menciptakan mudharat yang lebih besar lagi yaitu terciptanya kerugian negara dalam segala aspek. Selama puluhan tahun, kerugian negara hanya dipahami sebatas apa yang terlihat/ tampak (visible loss) seperti uang keluar, nilai aset turun, atau selisih antara harga pasar dan harga transaksi, tetapi mengabaikan kerugian yang tidak tampak (invisible loss) yang justru jauh lebih besar.

 

Not Making Decision is a Decision

Ada jenis kerugian lain yang jauh lebih serius tetapi tidak pernah masuk ke dalam pemaknaan hukum di Indonesia yaitu kerugian karena tidak adanya keputusan  Dalam manajemen modern dan bisnis, semua keputusan mengandung risiko. Namun yang sering dilupakan adalah bahwa "Not making decision is a decision", akhirnya niat menghindari risiko justru melahirkan risiko yang lebih besar.

Peter Drucker, bapak manajemen modern, pernah menegaskan bahwa risiko terbesar dalam organisasi bukanlah ketika perusahaan membuat keputusan salah, melainkan ketika perusahaan tidak mengambil keputusan sama sekali dan kehilangan momentum kompetitif. Drucker menyebut fenomena ini sebagai “the cost of inaction”, biaya yang tak tercatat namun jauh lebih merusak dalam jangka panjang.

Konsep yang sama dikemukakan Clayton Christensen (Harvard Business School) dalam teorinya tentang disruptive innovation, bahwa perusahaan sering gagal bukan karena mengambil keputusan yang salah, tetapi karena menghindari keputusan yang mengandung risiko, sehingga tidak masuk ke peluang-peluang baru yang seharusnya diambil. Ini adalah bentuk kerugian yang tidak nampakunseen loss—yang dalam dunia bisnis sangat nyata dampaknya.

Dalam literatur ekonomi institusional, Cass Sunstein dan Richard Thaler mengkategorikan fenomena ini sebagai omission bias, yaitu kecenderungan aktor untuk lebih takut “dihukum” karena tindakan tertentu, sehingga memilih tidak bertindak, meskipun ketidakbertindakan itu menghasilkan kerugian lebih besar bagi organisasi. Dalam konteks korporasi negara, bias ini semakin kuat ketika ancaman pidana ditarik ke wilayah keputusan bisnis melalui konsep “kerugian negara.”


Kerugian Negara Sesungguhnya Ketika Hilangnya Peluang

Ketika para pengambil keputusan di BUMN/ Kementerian/ Lembaga dibayangi ancaman pidana hanya karena suatu aksi korporasi dianggap merugikan keuangan negara, maka opsi paling aman tampaknya adalah tidak melakukan apa-apa. Tidak melakukan ekspansi, tidak berinovasi, tidak bertransformasi, tidak mengambil posisi strategis, tidak mengejar peluang pasar, dll. Sehingga dari luar akan tampak baik-baik saja, tidak rugi secara finansial, laporan keuangan stabil, tidak ada gejolak hukum. Namun sesungguhnya perusahaan sedang menanggung bentuk kerugian yang jauh lebih besar, yaitu Opportunity Loss. Kerugian tak tampak yang lahir dari hilangnya kesempatan menciptakan nilai (value).

Inilah yang jarang dibahas dalam narasi hukum Indonesia. Padahal di dunia bisnis korporasi, risiko terbesar bukanlah ketika perusahaan rugi, tetapi ketika perusahaan tidak bertumbuh, tidak bergerak, tidak mengambil peluang, tidak berani melawan stagnasi. Opportunity loss tidak tercatat dalam laporan keuangan, tidak dapat dihitung auditor secara konvensional, tidak tertulis dalam dakwaan, tetapi dampaknya bersifat sistemik, seperti hilangnya peluang ekspansi, hilangnya pasar, hilangnya keunggulan kompetitif, hilangnya potensi ekonomi negara, dll.

Jika diuji dari perspektif makro, justru di sinilah kerugian negara yang paling nyata yaitu kerugian yang tidak sekedar keuangan tapi kerugian multi aspek. Negara kehilangan nilai yang seharusnya bisa tercipta karena hilangnya keberanian para direksi dan manajemen untuk mengambil keputusan strategis secara objektif, rasional, dan tata kelola yang baik perusahaan.

 

Meluruskan Kerangka: Menuju Definisi Kerugian Negara yang Adil dan Strategis

Tidak mengambil keputusan bukanlah bentuk kehati-hatian, melainkan kelalaian etis dalam mengemban amanah publik. Ketika ketakutan menggantikan keberanian dalam kepemimpinan, maka stagnasi menjadi bentuk korupsi yang paling halus namun paling merusak.

Untuk meluruskan ketimpangan antara tata kelola bisnis dan pendekatan hukum pidana, Indonesia dapat belajar dari praktik internasional. Di banyak negara dengan sistem tata kelola yang maju, kerangka hukum memisahkan antara risiko korporasi yang wajar dan perbuatan kriminal. Contohnya, Inggris melalui Business Judgment Rule dan Amerika Serikat dengan Safe Harbor Provisions yang melindungi pengambil keputusan karena bertindak berdasarkan itikad baik dan proses yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal serupa dapat diadaptasi di Indonesia melalui revisi UU Tipikor dan pembentukan pedoman objektif dalam mengevaluasi aksi korporasi BUMN.

Untuk mendorong transformasi, berikut rekomendasi setiap aktor memiliki peran yang jelas:

Aktor

Peran yang Diperlukan

Eksekutif (Pemerintah) & Legislator (DPR)

Merevisi UU Tipikor agar memisahkan antara business risk dan fraud dalam penilaian kerugian negara

Penegak Hukum & Auditor Negara (KPK, Kejaksaan, BPKP, BPK)

Menyusun kriteria objektif dan ex-ante dalam menilai potensi kerugian negara

BUMN & Kementerian/ Lembaga

Membangun internal governance yang mendokumentasikan proses pengambilan keputusan secara transparan dan akuntabel

Publik dan Media

Mendorong narasi baru bahwa pertumbuhan dan inovasi adalah bagian dari tanggung jawab negara

 

Jika negara ingin BUMN menjadi motor ekonomi nasional dan bukan sebagai museum keterpurukan & kriminalitas, maka kerangka hukum & audit harus berani di transformasi, dari menghukum hasil menjadi menilai proses, dari menakuti pengambil keputusan menjadi melindungi inovasi, dari fokus pada kerugian yang tampak (visible loss) menjadi memahami kerugian yang jauh lebih besar (invisible loss). Sehingga kita bisa membangun potensi bangsa secara sistemik.

 

Author:

Heru Prasetyo

Senior Advisor / Senior Consultant

Ahmad Nidham K.

Consultant

Butuh konsultasi lebih lanjut tentang

Business Strategy

Share on :

Baca Juga Insight lainnya

5 Poin Penting Transisi

ISO 37001:2025

Wajib Diketahui Perusahaan Indonesia

ARTICLE

18 Nov 2025

low angle photography of high rise building under blue sky during daytime
low angle photography of high rise building under blue sky during daytime
low angle photography of high rise building under blue sky during daytime

7 Langkah

Pemodelan Bisnis Strategis Anti-Gagal

2026

ARTICLE

3 Nov 2025

low angle photography of architectural building
low angle photography of architectural building
low angle photography of architectural building
Kedaulatan Digital: Ir. Roni Sulistyo Dorong AI untuk Gerakkan Ekonomi Akar Rumput

ARTICLE

12 Sep 2025

Let's Shape
Your Future Together

Whether you’re a startup looking to disrupt the market or an established organization seeking to optimize operations, Proxsis Consulting is here to guide you on your journey. Let’s collaborate to turn challenges into opportunities and build a prosperous future for your business. Contact us today to get started.

Proxsis & Co. HQ

Gd. Permata Kuningan Lt. 17, Jl. Kuningan Mulia, Menteng Atas, Setiabudi, South Jakarta City, Jakarta 12920

P:

(021) 837 086 79

M:

(+62) 811-1797-485

E:

cs@proxsisgroup.com

OPTIMIST

OVERJOYED

OUTSTANDING

Part of

© 2025

PT Proxsis Strategi Bisnis

Brand & Website by

Proxsis & Co. HQ

Gd. Permata Kuningan Lt. 17, Jl. Kuningan Mulia, Menteng Atas, Setiabudi, South Jakarta City, Jakarta 12920

P:

(021) 837 086 79

M:

(+62) 811-1797-485

E:

cs@proxsisgroup.com

OPTIMIST

OVERJOYED

OUTSTANDING

Part of

© 2025

PT Proxsis Strategi Bisnis

Brand & Website by

Proxsis & Co. HQ

Gd. Permata Kuningan Lt. 17, Jl. Kuningan Mulia, Menteng Atas, Setiabudi, South Jakarta City, Jakarta 12920

P:

(021) 837 086 79

M:

(+62) 811-1797-485

E:

cs@proxsisgroup.com

OPTIMIST

OVERJOYED

OUTSTANDING

Part of

© 2025

PT Proxsis Strategi Bisnis

Brand & Website by

🇮🇩 Indonesia